Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net

Rabu, 22 September 2010

Gedung Terlantar, Siapa Pemiliknya?


Gedung kuno di kawasan Kotatua ini, tepatnya di Jalan Roa Malaka Selatan, tidak jelas kepemilikannya. Dulu pernah digunakan sebagai kantor Imigrasi Jakarta Barat. Menurut satu informasi, pemiliknya berada di Korea atau Hongkong. Mohon bantuan siapa saja yang mengetahui informasi tentang pemilik dan sejarah gedung tersebut. UPT Kotatua akan melakukan pendokumentasian, agar sejarah dan informasinya berguna untuk generasi mendatang. Terima kasih.

Kamis, 09 September 2010

KOTA TUA BATAVIA: Masalah Perlindungan


Oleh: Prof. Dr. Mundardjito
Pengajar Departemen Arkeologi, FIB-UI

Sudah banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat untuk melindungi peninggalan arkeologi di Kota Tua Batavia. Namun masih ada saja kejadian akhir-akhir ini yang menunjukkan bahwa Undang-Undang Benda Cagar Budaya tahun 1992 beserta turunan-turunannya tidak berdaya dalam implementasinya. Tulisan ini dimaksudkan untuk menggugah kita semua yang senantiasa berpikir bahwa peninggalan arkeologi harus mendapat perlindungan yang wajar sebagaimana perundang-undangan kita menegaskannya.

Wujud tinggalan budaya Kota Tua Batavia bukan hanya berupa bangunan atau sisa bangunan masa lalu yang sekarang masih berdiri tegak di permukaan tanah, tetapi juga mencakup berbagai jenis benda yang berada di bawah permukaan tanah. [2] Lumayan sudah jumlah bangunan tua yang masih tempak di Kota Batavia, namun upaya perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatannya belum maksimal. Bahkan ada yang masih jauh jika dilihat dari tingkat penelitiannya. Kini di permukaan tanah Kota Batavia cukup banyak bangunan dan gedung tua yang sudah, sedang dan akan dilestarikan, tetapi masih banyak pula yang belum mendapat sentuhan kegiatan perlindungan yang wajar. Usaha pemerintah daerah sekarang sudah mulai melangkah ke arah gerakan pembangunan berwawasan pelestarian. Oleh sebab itu kita semua perlu ikut membantu upaya tersebut betapa pun kecilnya sumbangan kita.

Tulisan ini berusaha menekankan pentingnya data arkeologi yang masih berada di bawah tanah. Di bawah permukaan tanah sekarang, banyak benda-benda arkeologi yang dapat dimanfaatkan untuk memperkokoh identitas Jakarta sebagai kota yang usianya bukan hanya beberapa puluh tahun, tetapi sudah hampir 500 tahun; suatu masa perjalanan sejarah perkembangan kota yang amat panjang.

Benda-benda yang masih berada di dalam tanah dapat diberdayakan sebagai sumber daya pula untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Bahkan data arkeologi yang berada di bawah muka tanah itu dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan masyarakat seperti yang selama ini dilakukan terhadap bangunan-bangunan dan gedung-gedung tua yang kini sedang giat dicanangkan oleh pemerintah daerah.


Perkembangan Kota

Sunda Kalapa yang merupakan bandar utama dan terpenting dari Kerajaan Sunda, berada di muara Sungai Ciliwung. Kemudian menjadi bandar antarbangsa, sehingga kota dan pelabuhan menjadi sangat ramai. Pada abad XVI Sunda Kalapa dikunjungi kapal-kapal dari Palembang, Tanjungpura, Malaka, Makassar, dan Madura. Bahkan oleh pedagang-pedagang dari India, Cina dan Jepang (Heukeun, 1997:22). Pada 22 Juni 1527, pelabuhan itu dikuasai pasukan gabungan Cirebon-Demak yang dipimpin Fatahilah. Sejak itulah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Namun setelah 92 tahun, kota pelabuhan ini kemudian dikuasai oleh VOC Belanda.

Kota Jayakarta masih sederhana, bentuknya empat persegi panjang dengan luas sekitar 72.496 m2 Letaknya di sebelah barat Sungai Ciliwung, lebih kurang 300 m dari garis pantai saat itu. Pusat kota ada di bagian selatan dengan masjid, alun-alun dan keraton yang merupakan bangunan-bangunan utama dari suatu kota tradisional, dan pasar di sebelah utara pusat kota (Breuning, 1981:15, fig. 1).

Di sebelah timur muara Sungai Ciliwung, sebelum tahun 1600 sudah berdiri satu benteng Belanda yang berbentuk segi empat, lengkap dengan bastion (kubu pertahanan) di setiap sudutnya. Namanya Fort Jacatra, luasnya sekitar 14.400 m2. Di dalam benteng itu terdapat bangunan gudang rempah-rempah bernama Mauritius (Nieuwe Huis), dan sebuah bangunan lagi bernama Nassau (Oude Huis). Sementara di sebelah barat sungai (berseberangan dengan Fort Jacatra) berdirilah Loji Inggris.

Setelah Kota Jayakarta dihancurkan oleh J.P. Coen, tepatnya pada 30 Mei 1619, kota ini diubah namanya menjadi ”Batavia”. Kemudian dibangunlah pemukiman baru di atas reruntuhan Kota Jayakarta yang ditinggalkan. Kota Batavia yang berada di sebelah timur Sungai Ciliwung ini, luasnya 64,800 m2. Seperti digambarkan pada peta tahun 1619, pola kota sudah tampak teratur dengan garis-garis lurus arah barat-timur dan utara-selatan, yang saling berpotongan tegak lurus (Breuning, 1981:25, fig.3). Kota terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian utara dan selatan. Ketika kota bagian utara sudah dipagari dengan pagar kayu, bagian selatan kota belum dilindungi pagar.


Kota Pertahanan

Selain membangun kota baru, VOC–seperti ditunjukkan oleh peta tahun 1622– mendirikan juga benteng baru di sebelah timur benteng lama (Fort Jacatra), karena benteng ini sudah tidak mampu lagi menampung aktivitas pemukimnya yang semakin kompleks. Benteng baru ini diberi nama “Kastil Batavia” (Kasteel Batavia). VOC juga mengembangkan kota di bagian timur Sungai Ciliwung ke arah selatan. Kota baru ini dikitari pagar keliling dari kayu yang panjangnya sekitar 1.000 m. Sisi kota bagian timur dan selatan dibatasi dengan kanal. Sementara itu, sisi baratnya dibatasi dengan Sungai Ciliwung yang masih berkelok (meander). Luas pemukiman baru saat itu sekitar 118.800 m2. Di kota baru ini sudah berdiri gereja dan balai kota (Stadt huis). Kastil Batavia dibangun menempel pada dinding sisi timur Fort Jacatra pada 1618. Bentuknya tidak jauh berbeda, tetapi ukurannya jauh lebih besar, yaitu sekitar 57.600 m2 atau 4 kali dari luas Fort Jacatra (14.400 m2). Kastil itu dilengkapi bastion pada setiap sudutnya, yaitu Bastion Diamant di sudut barat daya, Bastion Robijn di sudut barat laut, Bastion Saphier di sudut timur laut, dan Bastion Parel di sudut tenggara. Selain itu, Kastil Batavia dikelilingi kanal yang cukup lebar (Kasteel gragcht) (Breuning, 1981:27, fig. 4). Pada 1809, Kastil Batavia dibongkar atas perintah Gubernur Jenderal Daendels.

Sementara itu pemukiman yang berada di bagian selatannya dibangun dengan pola kisi-kisi juga, yang dipolakan oleh jaringan jalan dan kanal, yang saling memotong dengan poros utara-selatan dan barat-timur. Sisi timur Kota Batavia kemudian diperluas, dan dipagari dengan balok-balok kayu, dengan orientasi tenggara-barat laut. Sementara itu pagar di sebelah barat kota tidak dipasang lurus, tetapi mengikuti bentuk meander Sungai Ciliwung. Di sepanjang kanal bagian timur kota terdapat kubu-kubu pertahanan, rumah jaga atau gardu jaga. Di antaranya ialah Fort Gelderland dan Fort Hollandia (paling selatan, dekat dengan Sungai Ciliwung). Kota Batavia selanjutnya berkembang lebih ke arah selatan, sampai batas Sungai Ciliwung. Luas Kota Batavia saat itu sekitar 486.000 m2.

Dalam perkembangan berikutnya, sebagaimana tampak pada peta tahun 1632, pagar kayu yang memagari Kota Batavia di sebelah timur, diganti dengan tembok kota. Arahnya tidak miring lagi (arah tenggara-barat laut), tetapi sudah diluruskan membujur sesuai dengan orientasi utara-selatan. Begitu juga Sungai Ciliwung diluruskan, sehingga terkesan seperti kanal buatan manusia. Sungai ini seakan-akan membelah kota menjadi dua bagian. Kota Batavia belahan timur yang sebelumnya memiliki luas sekitar 486.000 m2, kemudian disusutkan menjadi hanya 290.600 m2 (Breuning 1981:31, fig. 6). Tembok Kota Batavia belahan timur dilengkapi dengan beberapa bastion, antara lain Amsterdam, Middelburg, Rotterdam, Enkhuisen, Gelderland, Oranje dan Hollandia.

Tidak seperti di belahan timur yang dikelilingi oleh tembok, di belahan barat kota ini hanya dikelilingi pagar dari kayu. Pagar ini didirikan di antara kanal dalam kota dan kanal luar kota. Daerah di sebelah barat Sungai Ciliwung selanjutnya mulai dibagi-bagi menjadi blok-blok lahan berpola kisi-kisi sebagai persiapan pembangunan pemukiman. Anak Sungai Ciliwung yang semula bermeander, kemudian diluruskan, dan menjadi batas Kota Batavia bagian barat.

Dalam pada itu kubu-kubu pertahanan dibangun di beberapa tempat, tersebar di sepanjang anak Sungai Ciliwung, antara lain Vianen dan Zeeland. Kota bagian barat pun kemudian berkembang ke arah utara, dan tetap berpola kisi-kisi yang terbentuk oleh jaringan jalan dan kanal yang saling berpotongan tegak lurus. Bastion Culemborg yang terletak di bagian utara Kota Batavia dibangun pada 1645 untuk mengamankan pelabuhan. Di dalam bastion ini kemudian didirikan apa yang kini dikenal masyarakat sebagai Menara Sjahbandar (Uitkijk) pada 1839. Bastion Zeeburg yang terletak di sebelah barat laut Bastion Culemborg dibangun pada 1639 dan berfungsi sampai dengan 1645 (Heuken & Pamungkas 2000: 12).


Kompleks Gudang

Sebagai kota perdagangan, Batavia dilengkapi dengan kompleks gudang rempah di belahan barat yang dikenal dengan nama Gudang Rempah Barat (Westzijdsche Pakhuizen), dibangun pada tahun 1652. Sebelas tahun kemudian yaitu pada 1663, dibangun pula Gudang VOC. Sementara itu, delapan gudang kayu berupa rumah panggung dibangun pada awal abad XIX. Gudang Rempah Barat yang kini masih tegak berdiri, pada waktu itu berfungsi untuk menyimpan barang-barang dagangan, seperti pala, lada, kopi, dan teh (Heuken & Pamungkas 2000: 12–13) hingga sekitar tahun 1780 (1778). Sekarang Gudang Rempah Barat itu dijadikan bangunan Museum Bahari.

Di Kota Batavia dibangun pula kompleks gudang yang dikenal dengan Gudang Sisi Timur (Oostzijdsche Pakhuizen) atau disebut juga Gudang Gandum (Graanpakhuizen). Kompleks gudang ini terdiri dari empat bangunan persegi panjang, didirikan dengan orientasi barat laut–tenggara. Gudang tersebut digunakan untuk tempat menyimpan perbekalan kapal seperti: beras, buncis, kacang tanah, kacang hijau, dan kue-kue kering (Heuken, 1997:42). Dua gudang terluar di sebelah timur, yang berbatasan dengan Sungai Ciliwung atau kanal luar kota (stads buiten gracht), dinding luarnya juga berfungsi sebagai tembok kota. Tembok ini bersambung dengan Bastion Robijn di Kastil Batavia. Kompleks gudang ini didirikan pada 1633 (1648). Sebagian bangunan gudang kini masih berdiri tegak tanpa disentuh perawatan yang wajar, sedangkan gudang dan tembok kota di bagian selatan dibongkar pada 1995 tanpa alasan yang jelas (Heuken 1997:43 dan 73).

Dinding terluar gudang timur terdiri atas dua lapis dinding, yaitu dinding bagian luar dan dinding bagian dalam. Dinding-luar berukuran lebar 60 cm pada bagian bawah, dan 50 cm pada bagian atas. Dinding-dalam berukuran lebar 70 cm di bagian bawahnya, dan 60 cm di bagian atasnya. Jarak antara dinding-luar dan dinding-alam ialah 110 cm di bagian bawah, dan 80 cm di bagian atas. Kedua dinding dihubungkan dengan sekat penguat yang tebalnya 40 cm agar dinding tidak runtuh. Dinding-dalam berukuran tinggi 8 m, sedangkan dinding-luar 6 m, yang dilengkapi dengan pilar di bagian atasnya. Pada dinding bagian dalam terdapat jendela berbentuk oval yang dilengkapi dengan terali besi.

Gudang sisi timur terdiri atas tiga lantai. Lantai kedua dan ketiga disusun dari pasangan papan dan balok kayu. Ketinggian ruang lantai pertama dan kedua adalah 4 m, sedangkan lantai ketiga menyatu dengan atap gedung tanpa dinding. Balok-balok kayu berukuran 20×20 cm dipasang masuk ke tembok bagian dalam. Lantai itu disangga tiang kayu berukuran 30×35 cm dengan umpak besar yang terbuat dari batu andesit berukuran 40×45 cm.

Struktur dinding gudang timur tersusun dari dua jenis bata merah. Bata merah jenis pertama berukuran lebar 13 cm, tebal 4,5 cm dan panjang 22,5 cm, dan jenis kedua berukuran lebar 13 cm, tebal 4,5 cm, dan panjang 26 cm. Struktur susunan bata ini dilapisi plester yang dibuat dari campuran semen merah, kapur dan pasir setebal 2 cm. Di sebelah timur gudang sisi timur terdapat kanal luar (stadt buiten gracht) yang lebarnya sekarang sekitar 18 m. Di antara gudang sisi timur dan kanal luar terdapat lahan yang lebarnya sekitar 12 m.

Itulah sekedar gambaran mengenai perkembangan pembangunan Kota Tua Batavia. Seperti juga di belahan timur, kota Batavia di belahan barat kemudian dilengkapi juga dengan jaringan kanal dan jalan yang tata letaknya berpola kisi-kisi. Selain itu, pagar kayu yang semula didirikan mengelilingi kota bagian barat, kemudian diganti dengan tembok kota yang kokoh, lengkap dengan bastionnya, sehingga seluruh Kota Batavia dikelilingi dengan tembok sepanjang lebih kurang 5 km dan luasnya sekitar 130 ha. Tembok Kota Batavia dibangun pada 1645 dan dibongkar atas perintah Gubernur Jenderal Daendels pada 1808.


Eksodus

Sebagaimana dipuji oleh Valentijn, Kota Batavia dianggap sebagai kota yang indah dengan kanal-kanal dan jalan-jalan yang lurus. Demikian pula Gubernur Jendral de Carpentier melaporkan bahwa pada tahun 1623 Batavia merupakan kota yang sehat. Akan tetapi setelah kota itu makin padat dan ramai akibat pesatnya pertumbuhan penduduk, kota ini pun menjadi tidak sehat, terutama karena polusi air dan penyakit[4]. J.S. Stavorinus, seorang laksamana madya angkatan laut Belanda mengatakan bahwa kesehatan di Batavia antara tahun 1774—1778 tidak baik, sehingga Inggris tidak terdorong untuk merebutnya. Menurut Blusse, transformasi kota Batavia dari kota yang sehat menjadi ”kuburan”, bukan disebabkan oleh letak kotanya, atau bencana alam[5], tetapi oleh polusi sebagai akibat sistem drainase yang datang dari perkebunan gula di luar kota. Vanderbrugh menyatakan bahwa tambak-tambak ikan yang ada di sepanjang pesisir Batavia juga merupakan faktor penyebab kota ini tidak sehat, sehingga berkembang penyakit malaria yang menular. Kanal-kanal sudah tidak dapat mengalirkan air sebagaimana mestinya. Akibatnya lumpur dan sampah menumpuk di dalam kanal-kanal. Berbagai penyakit telah merenggut ribuan warga Kota Batavia. Kondisi kota ini makin tidak nyaman, karena pertambahan penduduk yang menyesakkan pemukiman di dalam tembok kota[6]. Keadaan ini menyebabkan penduduk kota Batavia pindah ramai-ramai ke luar kota.

Dengan alasan strategis, pusat pemerintahan semula akan dipindahkan ke Jawa Tengah atau Surabaya. Akan tetapi, karena terkendala oleh biaya yang sangat besar, maka pusat pemerintahan dan penduduk dipindahkan ke wilayah yang lebih dekat, yaitu Weltervreden (sekarang di sekitar Lapangan Banteng).

Seiring dengan makin banyaknya orang Eropa yang berdatangan ke Batavia, dan rumah-rumah dibangun di luar tembok kota, maka Kota Batavia pun makin berkembang ke selatan. Rumah-rumah itu digunakan sebagai rumah peristirahatan yang berlokasi tidak terlalu jauh dari tembok kota di sebelah selatan yaitu di sepanjang Molenvliet[7] (kini Jl. Gajah Mada–Jl. Hayam Wuruk) dan di sebelah timur ke arah Ancol

Pembangunan “kota baru” di daerah Weltevreden terletak di sebelah selatan dari ”kota lama” Batavia. Kota batu ini didesain sebagai permukiman yang sehat. Gubernur Jendral Daendels (1808–1811) juga memindahkan pusat pemerintahan Hindia Belanda dari Batavia ke Weltevreden. Daendels menjadi pendorong dari proses perluasan kota ke daerah luar, yang dengan demikian menandai perkembangan Kota Batavia tahap kedua, meskipun sebelumnya proses suburbanisasi sudah dimulai sebelumnya. Setelah pusat pemerintahan dipindahkan ke Weltevreden, banyak orang-orang Eropa lainnya juga mengikutinya untuk pindah ke wilayah yang baru ini. Untuk membangun “kota baru” ini digunakan bahan-bahan dari tembok Kota Tua Batavia.

Sebagaimana tergambar pada peta tahun 1815, Tembok Kastil, Tembok Kota Batavia, dan jaringan kanal dalam kota sudah tidak ada. Tetapi kanal luar kota, dan kanal utama Tijgergraght pada tahun ini masih ada. Mungkin saja tembok kota sudah dirobohkan sebelum 1815, mengingat Daendels pada tahun pertama pemeritahannya telah memerintahkan untuk memindahkan Kota Batavia ke Weltevreden di selatan. Dengan pindahnya pusat pemerintahan ke bagian selatan dan pembongkaran tembok kota yang mengelilingi Batavia, pemekaran kota terus berlangsung hingga akhirnya kawasan Kota Batavia menjadi kosong, dalam arti bahwa masyarakat tidak menggunakan lagi sebagai pusat permukiman utama.

Mulai pertengahan abad XIX, Kota Batavia menjadi kawasan pemerintahan kota dan perekonomian. Pemerintahan berlokasi di sekitar kawasan yang kini disebut dengan Taman Fatahillah. Di tempat ini terdapat gedung Balaikota Batavia (kini menjadi Museum Sejarah Jakarta) dan gedung Mahkamah Agung (kini menjadi Museum Seni Rupa dan Keramik). Sementara itu, kawasan perekonomian berlokasi di sekitar Taman Stasiun Kota dan Kali Besar. Banyak bank besar, perusahaan-perusahaan perdagangan dan asuransi yang mendirikan kantornya di tempat ini. Di antaranya adalah De Javasche Bank, Nederlands Handel Maatschappij, Escompto Maatschappij dan lain-lain.

Beberapa arsitek kenamaan pada masa itu diminta oleh perusahaan-perusahaan besar untuk merancang dan mendirikan kantornya di kawasan ini. Oleh karenanya di kawasan ini hingga sekarang masih berdiri bangunan-bangunan hasil karya arsitek-arsitek kenamaan Belanda masa itu. Sebut saja Cuypers yang merancang kantor De Javasche Bank, Chartered Bank of India, Australia dan China. Arsitek lain bernama Chijssels merancang Stasiun Kota dan beberapa bangunan lain di Kali Besar. Masih banyak lagi bangunan di Batavia yang dirancang dan dibangun melalui sentuhan arsitek-arsitek lain.

Nilai kawasan ini kembali meningkat, setelah sebuah stasiun kereta api yang besar dan megah itu dibangun untuk menghubungkan Batavia dengan kota-kota lain, serta jalur-jalur trem uap dan trem listrik yang menghubungkan Batavia dengan bagian-bagian lain dari kota sebagai pengganti dari trem yang ditarik kuda.


Upaya Perlindungan

Dari uraian mengenai perkembangan pembangunan Kota Tua Batavia jelas tergambar bahwa banyak sekali bangunan-bangunan yang didirikan berkelanjutan di kota ini dalam masa-masa pembangunan yang berbeda. Untung masih cukup banyak bangunan yang hingga kini masih berdiri tegak di permukaan tanah, dan yang sekarang sedang diupayakan untuk mendapat perlindungan yang wajar sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Akan tetapi, masih banyak peninggalan arkeologi yang terpendam di bawah permukaan tanah sekarang, yang dapat digunakan sebagai bukti konkrit dalam rangka kajian perkotaan. Bukti-bukti konkrit itu dapat pula dikembangkan dan dimanfaatkan untuk berbagai kepentingn sebagai sumber daya lain. Peta-peta dan gambar-gambar lama dapat membuka mata kita tentang peninggalan arkeologi apa saja yang kita perkirakan masih berada di bawah permukaan tanah sekarang. Dengan demikian pemantauan terhadap berbagai “penggalian non-arkeologis” di “Situs Kota Batavia” dapat dilakukan dengan perlengkapan pengetahuan sebagaimana diuraikan di atas.

Bank Indonesia misalnya, menyadari sepenuhnya bahwa perlindungan terhadap situs arkeologi itu penting. Oleh karena itu beberapa arkeolog diminta Bank Indonesia untuk melakukan ekskavasi di sebidang lahan sempit di halaman Gedung Bank Indonesia Kota. Berbekal peta-peta lama, khususnya peta tahun 1650 yang ditumpangkan pada peta tahun 1770 dan foto satelit 2007, maka sebagian dari halaman Bank Indonesia Kota itu merupakan lokasi Bastion Hollandia. Para arkeolog kemudian menempatkan 14 kotak-gali di halaman bekas gedung poliklinik Bank Indonesia (di belakang gedung Museum Bank Mandiri). Memang disadari sepenuhnya bahwa ekskavasi di situs ini tidak akan menghasilkan bangunan bastion secara utuh, karena Daendels telah memerintahkan untuk membongkar tembok kota beserta bastion-bastionnya. Apa yang hendak dicapai ialah menemukan bukti konkrit adanya sisa fondasi di situs itu, mengingat bastion dan temboknya yang ada di selatan kota sudah tidak ada, sedangkan di bagian utaranya masih berdiri bangunan Bastion Zeeburg, meskipun tidak dalam bentuk utuh.

Hasil ekskavasi menunjukkan bahwa sisa Bastion Hollandia yang masih ada hanya bagian fondasinya berupa bongkah-bongkah karang pada kedalaman sekitar 80 sampai 155 cm. Luas sebarannya sepanjang 10 cm dan lebar 2 cm. Ada pula sisa bangunan bata yang masih tersusun baik (5-7 lapis bata) dengan ukuran panjang 16 cm dan lebar 26 cm. Karena letaknya berada di lapisan tanah yang atas, yaitu pada kedalaman 20-76 cm, maka disimpulkan bahwa tbangunan bata ini dibangun setelah Bastion Hollandia didirikan. Selain sisa bangunan, ditemukan pula 834 fragmen keramik, tembikar 239 fragmen, pipa Gouda 284 fragmen, alat logam 263, moluska 568, tulang fauna 70, gigi 6, bata dan ubin 129.

Upaya lain telah dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwiata DKI Jakarta dengan menggali situs rel kereta di depan Museum Fatahillah sebagaimana tampak pada foto lama. Para arkeolog dapat merekam dengan baik temuan dua pasang rel trem beserta bantalan dari balok kayu dalam konteksnya yang asli. Bersamaan dengan itu ditemukan pula sejumlah fragmen keramik dari berbagai negara sebagai konsekuensi logis dari kota perdagangan internasional. Permukaan rel trem ini tidak datar, tetapi ada lekukannya untuk menempatkan rel lebih kuat (grooved rail). Rel ganda ini sama dengan yang ditemukan di depan Stasiun Kota, yang merupakan bagian dari jalur kereta uap ke arah selatan (Tanah Abang dan Senen, hingga berakhir di Jatinegara). Jalur rel yang berada di belakang Bank Indonesia Kota adalah jalur rel untuk trem listrik seperti digambarkan pada peta tahun 1916. Dalam waktu dekat kotak ekskavasi dengan dua poasang rel trem itu akan ditutup dengan kaca, sehingga dapat dilihat dalam konteks aslinya secara in situ. Dengan demikian masyarakat melihat bukti bahwa sebelum masyarakat sekarang menggunakan busway, masyarakat Kota Batavia dulu menggunakan “tram way”, dan sebelum itu dengan perahu-perahu yang hilir mudik di kanal-kanal, baik di dalam maupun di luar Kota Batavia.

Selama ekskavasi berlangsung, para arkeolog membuat pameran kecil di dekat kotak-gali agar masyarakat dapat diberi penjelasan apa maksud tujuan penggalian. Banyak pertanyaan dan tanggapan dari penduduk sekitar untuk dijawab dan dijelaskan.oleh para arkeolog mengenai apa yang ditemukan. Setiap saat para arkeolog harus menjawab keinginan tahu pengunjung dengan penuh kesabaran. Ini adalah bagian dari kegiatan ilmiah sekaligus mencakup kegiatan arkeologi publik (public archaeology) yang bertujuan pokok menyadarkan masyarakat (khususnya penduduk sekitar) mengenai arti dan nilai peninggalan Kota Tua Batavia. Dengan kegiatan tersebut diharapkan kita dapat mengantisipasi kerusakan peninggalan Kota Tua Batavia.

Sebagai penutup tulisan ini, saya akan menayangkan kasus vandalisme terhadap peninggalan budaya dari Kota Batavia masa lalu yang terjadi di depan Stasiun Kota, karena dengan konsep “seeing is believing”, saya percaya kita akan memaknai kasus ini dengan penuh perhatian. Lapisan-lapisan budaya beserta rel kereta uap, pipa saluran dari terakota, bangunan jembatan dari kanal luar, sejumlah batang pohon dan balok-balok kayu sebagai fondasi banghunan, serta sejumlah temuan lainnya yang berada di bawah permukaan tanah terganggu, rusak, hancur, dan hilang, seakan-akan kita merobek-robek lembaran sejarah kita sendiri. Kini di beberapa tempat terbuka, kita dapat menyaksikan bertumpuk balok-balok batu andesit dan balok-balok kayu tergeletak tanpa dilengkapi dengan label urut sebagai perwujudan dari satu sistem perekaman data (archeological recording system) yang wajib dilakukan manakala kita menemukan peninggalan arkeologi. Kapankah kita mampu menghargai secara benar dan wajar terhadap perundang-undangan bangsa kita, yang embrionya sudah lahir 77 tahun yang lalu pada masa kolonial Belanda sebagai monumenten ordonanntie.


Daftar Pustaka

Ambary, Hasan,
1981 Laporan Ekskavasi Pasar Ikan. Jakarta: Himpunan Keramik Indonesia.

Breuning b.i., H.A,
1981 Het voormalige Batavia, Een Hollandse stedestichting in de tropen, Anno 1619, Utrecht: GJB

Brommer, Bea, & Dirk de Vries
1992 Historische Plattegronden van Nederlandse Steden, deel 4 Batavia, Leiden, KITLV

Brousson, H.C.C Clockener
2007 Batavia Awal Abad 20, Jakarta:Masup

Grasser, Walter,
1978 “Antiek als Hobbie”, dalam Prisma No. 1867. Utrecht, Antwerpen: Utrecht Press

Heuken S.J., Adolf & Grace Pamungkas
2000 Galangan Kapal Batavia Selama Tiga Ratus Tahun, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka/Sunda Kelapa Lestari.

Heuken S.J., Adolf
1997 Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.

Hong, Tio Tek,
2006 Keadaan Jakarta Tempo Doeloe, Sebuah Kenangan 1882–1959, Jakarta: Masup

Knaap, Gerrit,
2007 Groote Atlas van de Vereenigde Oost-Indische Compagnie, Voorburg, Atlas, Maior.

Lohanda, Mona,
2007 Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia, Jakarta: Masup

Oers, Ron van,
2000 Dutch Town Planning Overseas during VOC and WIC Rule (1600–1800), Zutphen: Walburg Press

Loedin, A.A.,
2005 Sejarah Kedokteran di Bumi Indonesia, Jakarta: Grafiti

Soehoed, A..R.
2004 Membenahi Tata Air Jabotabek: Seratus Tahun dari Bandjir Kanaal hingga Ciliwung Floodway, Jakarta: Djambatan.

Stutterheim, W.F.,
1941 “Beschrijving der Gevonden Pijpskoppen en Pijpstellen en Hun Marken”, ODNI: Rapporten 1940. Batavia:Drukkerij de Unie.

Surjomihardjo, Abdurrahman,
1977 Perkembangan Kota Jakarta, Jakarta: Pemerintah DKI Jakarta, Dinas Museum dan Sejarah.

*******

1. Makalah disampaikan dalam Seminar Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia pada tanggal 24 Maret 2008 di Kampus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, Depok.

2. Bahkan tinggalan budaya yang berada di bawah permukaan air.

3. Menurut A.A. Loedin (2005), penyakit yang melanda Batavia pada saat itu ada 19 jenis, yaitu: 1. Beri-beri; kelumpuhan pada Inlanders yang amat sangat menyedihkan (dubbel-over ellendig); 2. Tetanus (spasmus); 3. Diare, terutama disentri; 4. Leverloop (fluxi alvi hepatico) yang menurut deskripsinya adalah haemorhoid internus (wasir); 5. Druiploop (tenesmus), penyakit usus dengan proctitis bernanah; 6. Cholera; 7. Penyakit hati, obstruksi dan keradangan usus (ingewand); 8. Abses hati dan pengobatannya; 9. Waterzucht (oedeem) penyakit yang paling sering ditemukan; 10. Indische geelzucht (sakit kuning, icterus); 11. Atrofi dan emasiasi oleh obstipasi yang berasal dari mesenterium; 12. Penyakit paru-paru, khususnya tentang bloedspuwing (batuk darah, haemoptoe) dan phthisis oleh longtering (radang paru-paru); 13. Empyeem dan nanah di atas middenrif (diafragma); 14. Koortsen (demam); 15. Indische koortsen yaitu demam yang khas untuk orang pribumi dan dikenal sebagai demam Timor (Timoreesche koortsen). Demam yang dimaksud adalah malaria. Namun Bontius berpendapat bahwa demam tersebut disebabkan oleh bau yang berasal dari pohon cendana yang baru ditebang (den reuck van de versch-gehakte Sandel-boomen); 16. Kebutaan dan penurunan penglihatan pada pelaut yang berlayar ke Ambon dan Maluku serta di lautan sekitarnya, yang menurut Bontius disebabkan nasi pedas; 17. Penyakit kulit, yaitu kurap yang dianggap dapat menjadi lepra. 18. Roode Hond (Indiaensche Root-vont) dan gigitan kutu dan nyamuk; dan 19. Framboesia yang dinamakan cacar Ambon (Amboynsche Pocken) yang berlainan dengan cacar Spanyol (Spaansche pokken), yaitu gejala kulit penyakit sifilis. Disebutkan bahwa penyakit dapat menular tanpa persetubuhan yang diistilahkan dengan Venus-spel (permainan Venus). Penyakit dapat disebabkan oleh pengaruh iklim serta makanan, khususnya kue sago (sago-pannekoeken) dan tuak sagu (sago-towack) yang juga menyebabkan beri-beri.

[5] Bencana alam yang dimaksud adalah gempa bumi dasyat yang terjadi pada 1699. yang berdampak sangat buruk terhadap keadaan kesehatan di Batavia. Dinding utara kawah Gunung Salak runtuh. Sebagian besar rumah di Batavia retak, dinding luar depan rubuh, atap-atap rusak, 21 rumah batu dan 20 rumah petak rubuh. Banyak orang yang meninggal dan terluka. Sungai membawa turun banyak pohon besar, batu, lumpur, dan pasir.

[6] Dalam memecahkan masalah pengendapan kanal-kanal di Batavia masa itu, kanal-kanal dikeruk, pintu-pintu air dibangun, jalan-jalan ditinggikan, sungai-sungai kecil dialirkan ke kanal-kanal untuk memperlancar aliran. Polusi pada kanal-kanal terjadi karena kotoran manusia dan sampah dibuang ke dalam kanal. Padahal, pada 1673 VOC sudah menyediakan kotak-kotak besar tempat buang sampah. Udara sekitar menjadi bau busuk dan lingkungan menjadi tidak sehat. Penggalian sejumlah besar kanal mengakibatkan sungai Ciliwung, yang tadinya mengalir dengan deras, kehilangan tenaganya, dan tidak mampu lagi mengalirkan air serta bahan yang dibawanya menuju ke laut. Jumlah dan debit aliran sungai Ciliwung makin berkurang dan kotor. Dalam musim kering, kanal dalam kota dan kanal luar kota (binnen stadtgrachten dan buitenstadt grachten) hampir tidak terisi air dan pada kanal-kanal yang melintang (dwarsgrachten) tidak terjadi sirkulasi air lagi. Itulah sebabnya kemudia timbul kesadaran untuk menutup beberapa kanal yang isinya hanya lumpur.

[7] Molenvliet adalah kanal yang digali pada pertengahan abad XVII dengan maksud untuk menghubungkan Kota Batavia dengan daerah pedalaman, dan untuk pengairan untuk kebun-kebun serta sawah-sawah di sekitarnya. Setelah kanal Molenvliet dibuat, barulah kemudian didirikan benteng-benteng pertahanan kecil di daerah selatan Batavia (ke arah Weltevreden), sehingga masyarakat merasa semakin aman untuk membangun rumah di luar tembok kota.

Sabtu, 28 Agustus 2010

Kota Tua Akan Jadi Pusat Pameran Jakarta Barat


Seorang anak bermain sepeda sewaan di kawasan Kota Tua, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan

Sabtu, 28 Agustus 2010, TEMPO Interaktif - Walikota Jakarta Barat mengatakan bahwa pameran di Jakarta Barat nantinya akan dipusatkan di kawasan Kota Tua. Langkah itu dilakukan untuk mendukung upaya membuat kawasan Kota Tua makin terkenal dan bisa menjadi ikon Jakarta Barat.

"Kota Tua kami harap bisa menjadi ikon Jakarta Barat, setiap orang yang berkunjung ke Jakarta Barat akan merasa kurang jika tidak ke Kota Tua," kata Burhanuddin usai pembukaan gelar produk unggulan industri kecil menengah di Kota Tua, Sabtu (28/8).

Kota Tua dipilih menjadi ikon Jakarta Barat karena dianggap memiliki nilai sejarah kuat. Kawasan itu juga memiliki kekhasan tersendiri berupa bangunan tua dan museum.

Namun Burhanuddin mengakui bahwa hingga saat ini pihaknya masih belum menemukan formula yang tepat sehingga pamor Kota Tua bisa sejajar dengan ikon yang dimiliki oleh wilayah DKI lainnya.

Seperti Monumen Nasional di Jakarta Pusat, Taman Impian Jaya Ancol di Jakarta Utara dan Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta Timur dan Taman Margasatwa Ragunan di Jakarta Selatan.

"Kami belum punya formula yang pas, karena itu perlu inovasi baru sehingga Kota Tua bisa benar-benar jadi ikon Jakarta Barat," katanya.

Karena itu salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menjadikan kawasan Kota Tua sebagai pusat pameran di Jakarta Barat. "Agar masyarakat lebih mengenal," kata Burhanuddin. Selain itu juga diharapkan bisa sinegis dengan upaya pemerintah untuk membantu promosi produk industri kecil menengah di Jakarta Barat.

Apalagi saat ini pemerintah Jakarta Barat sedang menggiatkan pembuatan produksi khas dan unggulan di setiap kecamatan. Menurut Burhanuddin tiap wilayah kecamatan di Jakarta Barat sebenarnya sudah ada sejumlah industri kecil menengah yang berpotensi dan bisa menjadi produk unggulan.

Seperti Kecamatan Kembangan dengan potensi produksi makanan khas Jakarta berupa dodol Betawi. Kecamatan Cengkareng dengan potensi ikan hias dan makanan ringan seperti keripik, Kebunjeruk dengan usaha bunga hias dan pakaian serta pencucian jeans, serta Tamansari dengan produksi pakaian.

AGUNG SEDAYU

Rabu, 17 Maret 2010

Museum Sejarah Jakarta Putar Video Mapping 3 Dimensi


Gedung Museum Sejarah Jakarta berubah warna dan dekorasi saat pertunjukkan video mapping 3D, di Taman Fatahillah, Jakarta, Sabtu (13/3). (ANTARA/Paramayuda)

Jakarta (ANTARA News) - Warga Jakarta padati Museum Sejarah Jakarta untuk menyaksikan pertunjukan seni Video Mapping 3 Dimensi di halaman museum yang terletak di Kawasan Kota Tua, Jakarta, Sabtu.

"Video Mapping 3D ini merupakan tontonan yang menyajikan gambar bergerak dengan wadah berupa gedung Museum Sejarah Jakarta," ujar salah satu pembuat video Mapping 3D, Sakti Parantean dari Sembilan Matahari Film.

Dalam tayangan gambar bergerak tersebut, warga Jakarta dibuat kagum dengan lampu-lampu yang disorotkan tiga proyektor berkekuatan masing-masing 15.000 watt.

Video Mapping yang baru ditemukan 3 tahun lalu di Eropa ini, bercerita tentang suasana hutan rawa sebelum Belanda menjadikan kawasan Kota Tua sebagai pusat pemerintahan kolonial Hindia-Belanda.

Karya seni kolaborasi seniman multimedia terkemuka Inggris D-Fuse dan sineas muda Indonesia Sakti Parantean dan Adi Panuntun, serta fotografer Feri Latief, dan penulis Taqarrabie ini memukau penonton dengan menampilkan gambar seniman yang sedang mencoret-coret dinding dengan corak batik, sehingga tampaknya dinding museum bercorak batik.

Selain itu, penonton juga dibuat kagum dengan efek-efek lampu yang "eye catching" dan penari topeng Betawi, musisi rock, dan pesilat seolah-olah berloncatan di gedung itu.

Pertunjukan seni yang terselenggara berkat kerja sama Pemprov DKI Jakarta dengan British Council dan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) merupakan pertunjukan pertama di Indonesia dan bertujuan untuk mengusung misi pemprov merevitalisasi Kawasan Kota Tua sebagai kawasan industri kreatif.

"Acara seperti ini sebaiknya harus sering dilakukan karena sangat menghibur untuk warga Jakarta, terlebih lagi gratis, jadi semua kalangan bisa menikmati," kata Miftah, warga Pancoran Jakarta Selatan yang datang karena ingin mengetahui tayangan tersebut.

Selain itu, pada kesempatan acara tersebut KADIN meluncurkan cindera mata khas Jakarta yang diberi label Jakarta Punya.

"Produk Jakarta Punya saat ini lebih fokus pada fesyen, seperti kaus, tas, tapi ada juga seperti mug, boneka, dengan harga mulai dari Rp 15.000 sampai Rp 125.000," ujar Kepala Program produk Jakarta Punya, Fathya Harmidy.

Program tersebut menurut Ketua Umum KADIN, Eddy Kuntadi, bertujuan untuk memberikan identitas atau strategi pencitraan untuk kota Jakarta. (FAI/K004)

(antara.co.id)


Kontak