OLEH: DEYTRI ARITONANG
(Sinar Harapan, Sabtu, 23 Mei 2009)
JAKARTA - Seseorang yang berwisata ke Kota Tua, Jakarta Barat, baru bisa dikatakan menjalani wisata sejarah jika sudah mengelilingi Kompleks Kota Tua dengan sepeda kumbang atau sepeda ontel. Penyewa maupun pengojek sepeda ontel bangga ikut melestarikan kebudayaan dan sejarah Indonesia.
Di tengah hiruk-pikuknya Taman Fatahillah, Jakarta Barat, Amir (41) sibuk membersihkan dan memeriksa setiap detail sepeda ontel miliknya. Tangannya sigap menggosok semua bagian sepeda tuanya yang katanya diproduksi tahun 1940-an.
Di alun-alun depan Museum Sejarah Jakarta itu ia memarkir dua koleksi sepeda tuanya, berjajar dengan sepeda ontel milik rekan seprofesinya. Di depan jajaran sepeda terpampang papan bertuliskan “Disewakan untuk keliling Kota Tua”.
Sepeda kesayangannya itu memang disewakannya bagi pengunjung Kota Tua yang ingin menjelajahi jejak penjajahan pemerintahan Kolonial Belanda di Jakarta. Suasana tempo dulu baru terasa kental ketika berkeliling menyusuri bangunan-bangunan tua di sana.
Dengan tarif Rp 20.000 per jam, bapak satu anak berani melepaskan sepedanya digunakan secara bebas oleh pengunjung. Syarat untuk dapat meminjam sepeda yang di Belanda disebut omafiets atau “sepeda oma” ini hanya dengan meninggalkan kartu identitas (KTP).
Amir mengaku tidak khawatir sepedanya tidak dikembalikan peminjam. Menurutnya, jaminan KTP sudah cukup memadai dan membuat peminjam takut melarikan sepeda yang menjadi tumpuan hidup keluarganya itu.
Lelaki yang berdomisili di Penjaringan, Jakarta Utara, ini menggantungkan hidupnya dari usaha mengojek atau menyewakan sepeda ontel. Ia mengaku penghasilannya dari sepedanya tidaklah besar. “Pas-pasan aja sih. Tapi yang penting kan cukup untuk makan,” kata pria sederhana ini.
Rata-rata dalam sehari laki-laki berkulit legam ini bisa membawa pulang hingga Rp 30.000. Meski demikian, tidak jarang juga ia bisa menghasilkan hingga Rp 150.000 dalam sehari.
Salah satu pengalaman mengojek yang tidak dilupakannya adalah ketika mengantar wisatawan dalam negeri dari Taman Fatahillah, Jakarta Barat, ke Taman Monas, Jakarta Pusat. Menurut kisahnya, kala itu warga keturunan Tionghoa itu ingin menikmati suasana Jakarta dengan santai tanpa terjebak kemacetan.
Kisah yang hampir sama dituturkan Pak Daryono (52). Salah satu pengurus komunitas sepeda tua asuhan Museum Bank Mandiri ini mengaku menjalani usaha jasa sepeda tua sejak tahun 1981. Katanya, kala itu tidak banyak peminat jasa sepeda ontel. Saingannya pun belum banyak.
Kini ketika penyedia jasa sepeda kumbang semakin banyak, peminat sepeda yang lahir di tanah Belanda ini tidak bertambah.
Calon Pengantin
Penyewa dan pengguna jasa sepeda ontel memang tidak banyak. Kelompok orang yang paling sering menyewa sepeda adalah calon pasangan pengantin. Mereka biasa menyewa sepeda untuk foto prapernikahan dengan tema tempo dulu. “Selain foto prewedding, paling anak-anak remaja yang mau foto,” katanya.
Meski memiliki koleksi sepeda ontelnya sendiri, bapak empat anak ini memilih menggunakan sepeda yang dipercayakan Museum Bank Mandiri kepadanya. Sepeda ontel yang dibelinya pada tahun 1980-an hanya dipakai sesekali saja.
Lelaki berdarah Betawi ini mengaku tidak memiliki mata pencaharian lain selain mengojek sepeda ontel dan menyewakan sepedanya. Meski begitu, dia bangga. Dari penghasilannya yang juga ikut berperan melestarikan sejarah dan budaya, ia berhasil mengantarkan anaknya ke jenjang pendidikan yang tinggi. Walau kehidupan yang dijalaninya tidak tergolong mewah, Pak Daryono bersyukur dapat menjalani pekerjaannya yang turut membantu pemda mengembangkan Wisata Kota Tua.
Dia mengatakan, banyak keuntungan yang didapatnya menggunakan sepeda ontel. Salah satunya adalah kesehatan. Bersepeda menurutnya sama dengan berolahraga. Diakuinya, semasa hidupnya ia tidak pernah terjangkit penyakit parah. Keuntungan lainya, sepeda lebih ramah lingkungan dan bebas macet.
Ia berharap adanya persewaan sepeda ontel dapat ikut mengembangkan wisata sejarah di Kota Tua. Untuk itu, ia ingin agar kompleks Kota Tua dibebaskan dari kendaraan bermotor dan persewaan sepeda modern.
Jika kawasan Kota Tua telah menjadi kawasan seperti yang dicita-citakan pemda dan banyak persewaan sepeda dapat menjadi bisnis menjanjikan yang mendukung wisata Kota Tua, kenapa tidak dikembangkan? Dengan begitu, jalan-jalan di Kota Tua bisa dijalani tanpa harus kepanasan dengan alat transportasi bebas polusi yang pernah hidup di Jakarta dulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar