Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net

Senin, 01 Maret 2010

Kota Tua: Di Tepian Kali Besar


Oleh WINDORO ADI


Saat melintas Museum Bank Indonesia menuju Jalan Kali Besar Barat, di ujung jalan tampak satu gedung bergaya neoklasik renaissance nan megah dan terindah di antara deretan gedung-gedung tua di kawasan Kali Besar, Jakarta Barat.

Kubah menaranya seperti tirai pembuka kawasan perdagangan, gudang, dan perkantoran, yang mengendalikan jaringan bisnis internasional rempah-rempah, pala, lak, pernis, dan kayu cendana dari Batavia. Jaringan bisnis itu terbentang dari hulu sampai hilir, dengan dukungan lembaga asuransi dan perbankan yang tak kalah menggurita.

KOMPAS/WINDORO ADI
Gedung Nederlandsch Indische Escomto Maatschappij terletak diKali Besar Utara menjadi jalan masuk menujukawasan Kali Besar Timur dan Kali Besar Barat, Kota Lama, Jakarta, seperti tampak pada Selasa (14/7).


Gedung berlantai tiga yang dirancang oleh Biro Arsitek Ed Cuypers & Hulswit itu dulu bernama Nacionale Handels Bank dan sejak 1939 menjadi kantor Chartered Bank of India, Australia, and China. Bank itu kemudian dinasionalisasi menjadi Bank Bumi Daya.

Selain merancang gedung Chartered Bank of India, Cuypers dan Hulswit juga merancang gedung yang kini menjadi Museum Bank Indonesia (BI). Gedung itu dibangun tahun 1912. Bangunan yang terletak di Jalan Pintu Besar Utara tersebut awalnya adalah rumah sakit yang kemudian dibeli Javaasche Bank pada tahun 1928.

Javaasche Bank adalah bank swasta yang diizinkan pemerintah Hindia Belanda bertindak sebagai bank sentral. Bank itu didirikan 28 Januari 1828. Javaasche Bank menjadi bank sentral (BI) pada Desember 1951.

Kali Besar dibangun oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, sebagai bagian dari Kota Batavia pada abad ke 17. ”Arsiteknya Simon Stevius, yang juga merancang sejumlah tempat bernama Batavia di New York, di Negara Bagian Ohio AS, dan Australia. Luas wilayah Batavia Hindia Belanda yang ia rancang tahun 1650 seluas 105 hektar. Sebelumnya, sampai Coen merebut Jayakarta pada 30 Mei 1619, luas kota cuma 15 hektar,” tutur Kepala Unit Pelaksana Teknis Kota Tua Candrian, Kamis (3/12).

Nama Batavia dipilih petinggi di negeri Belanda untuk mengenang nenek moyang bangsa Belanda yang berasal dari Jerman, yaitu Suku Batavieren.

Kini, Batavia timur lebih dikenal sebagai kawasan Kali Besar Timur, sedangkan Batavia barat lebih populer dengan sebutan Kali Besar Barat. Dua wilayah itu dibangun seperti sebuah kota kembar.

Pada 1905, Batavia dibangun kembali dengan struktur bangunan art deco. Saat itu, Kali Besar diluruskan dan dibangun kembali sehingga kapal berukuran sedang bisa kembali merapat sampai tepian Kali Besar.


Toko merah


Masih di tepian Kali Besar Barat, berdiri bangunan kembar yang populer dengan sebutan Toko Merah. Thomas B Ataladjar dalam bukunya, Toko Merah, mencatat, rumah bergaya rumah Belanda, Boer, ini dibangun Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff (1743-1750).

Pada akhir 1743, Imhoff menjadikan gedung ini sebagai Academie de Marine, yang kemudian dikenal sebagai akademi maritim tertua di Asia, bahkan salah satu dari yang tertua di dunia.

Tahun 1786-1808, bangunan itu menjadi hotel. Salah seorang tamu hotel adalah Kapten William Bligh, nakhoda kapal Bounty. Saat berlayar memasuki perairan Kepulauan Persahabatan (Friendly Islands) pada 28 April 1789, terjadi pemberontakan di kapal yang dipimpin wakil nakhoda, Christian Fletcher. William dan 18 anak buahnya yang setia diturunkan ke sekoci.

Fletcher dan anak buahnya mendarat dan beranak-pinak di Pulau Pitcain. Sementara William dan anak buahnya terdampar di Kupang, Timor. Mereka dirawat pejabat Hindia Belanda.

Setelah pulih, William membeli kapal dan pergi ke Pulau Jawa. Dalam perjalanan, mereka singgah di Surabaya, Tuban, Semarang, dan Cirebon, sebelum akhirnya tiba di Batavia dan menginap di Toko Merah. Ia lalu kembali ke Inggris.

Kisah pemberontakan di kapal Bounty dan petualangan William mengarungi Samudra Pasifik kemudian diangkat ke layar lebar lewat film berjudul, Mutiny on the Bounty. Pemeran utamanya Anthony Hopkins (sebagai William) dan Mel Gibson (Fletcher).


Geo Wehry & Co


Di seberang Jalan Kali Besar Timur III, yakni Jalan Kunir menuju Kampung Bandan, berdiri Gedung Kantor Pusat Geo Wehry & Co. Gedung yang pernah jadi arena judi ilegal beromzet miliaran rupiah semalam itu dibangun tahun 1926-1927.

Geo Wehry, pemilik 15 perkebunan raksasa di Nusantara, adalah satu di antara lima perusahaan konglomerat Belanda. Empat perusahaan lainnya adalah NV Rotterdam Internatio, NV Borsumij Maatschappij, NV Lindeteves Stokvis, dan NV Jacobson van den Berg. Mereka menguasai jaringan bisnis perdagangan, produksi, jasa, industri, serta distribusi di sejumlah negara.

Pada akhir tahun 1950-an, konglomerasi peninggalan VOC yang sebagian besar berkantor di kawasan Kali Besar dinasionalisasi dan menjadi badan usaha milik negara (BUMN). Nederlandsche Handel Maatschappij, misalnya, menjadi Bank Ekspor Impor; Nederlandsche Handelsbank menjadi Bank Bumi Daya, dan Nederlandsch Indische Escomto Maatschappij menjadi Bank Dagang Negara.

Selain menasionalisasi, pemerintah pada era Presiden Soekarno membuat Program Ekonomi Benteng. Mereka yang mendapat fasilitas itu antara lain pengusaha Agus Musin Dasaad, pemilik gedung megah di tepi Jalan Kali Besar Timur III, Dasaad Musin Building.

Agus Musin, pengusaha Minangkabau kelahiran Filipina, membangun gedung itu tahun 1920. Bisnis awalnya impor tekstil dari Jepang. Dia lalu membeli pabrik peninggalan Jerman dan memproduksi tekstil dengan label Kancil Mas. Nama perusahaannya, NV Pabrik Tenoen Kantjil Mas, Bangil, Djawa Timoer.

Kini, mayoritas gedung tua di tepian Kali Besar renta tak terurus. Ironisnya, kalangan swasta yang masih memiliki gedung-gedung tua di kota lama Batavia, lanjut Candrian, sengaja membiarkan bangunan gedung hancur. ”Mereka berharap, setelah gedung lama hancur, bisa membangun gedung baru,” katanya.

(Kompas, Senin, 7 Desember 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kontak